Powered By Blogger

Kamis, 17 November 2016

Pengaruh Ukuran Perusahaan Terhadap Manajemen Laba (Softskill 3)


JURNAL BISNIS DAN AKUNTANSI Vol. 11, No. 1, April 2009, Hlm. 33 - 56






PENGARUH UKURAN PERUSAHAAN TERHADAP MANAJEMEN LABA


RR. SRI HANDAYANI dan AGUSTONO DWI RACHADI


Program Magister Ilmu Akuntansi Universitas Diponegoro handayanifeundip@yahoo.com


Abstrak: This study investigated size effect to earnings management.  In this study, it is investigated whether medium and large-sized firm more aggressive to use earnings management through reporting positive earnings to avoid losses and/or earnings decreases by examining the earnings (change) frequency distribution and probit analysis. Docu-mented is empirical evidence that  small-,  medium- and large-sized firms tend to report positive earnings to avoid earnings losses. However, this study observed that firm size plays  differing roles in earnings management. This study found that medium-and large-sized firms do not engage more earnings management aggressively than small firms for both avoiding reporting earnings losses and earnings decreases.

Keywords:     Firm size, earnings management, agency theory, signaling theory, size hypothesis.

PENDAHULUAN

Fokus utama di dalam penelitian ini adalah untuk menganalisa kem- bali apakah ukuran perusahaan berpengaruh terhadap probabilitas perilaku manajemen laba melalui mekanisme pelaporan laba positif, untuk menghin- dari pelaporan kerugian (earnings losses) atau penurunan laba (earnings decreases), serta faktor-faktor lainnya yang diduga berinteraksi pada perilaku tersebut. Ukuran perusahaan sebagai proksi dari political cost, dianggap sangat sensitif terhadap perilaku pelaporan laba (Watt and Zimmerman, 1978). Perusahaan  berukuran  sedang dan  besar lebih memiliki tekanan  yang kuat


33



dari para stakeholdersnya, agar kinerja perusahaan sesuai dengan harapan para investornya dibandingkan dengan perusahaan kecil. Hal ini mendorong manajemen untuk dapat memenuhi harapan tersebut (Barton and Simko, 2002). Namun di lain pihak Burgstahler dan Dichev (1997), Degeorge et al. (1999), dan Kim et al. (2003) mengemukakan bukti empiris yang berbeda, bahwa semua ukuran perusahaan terbukti senantiasa melaporkan positive earnings, untuk menghindari earnings losses atau earnings decreases.
Perilaku manajer tersebut pada gilirannya akan cenderung berdampak pada adanya praktik manipulasi dan perataan laba. Jensen (1976) menyebut- kan bahwa manipulasi laba adalah tindakan manajer dalam memodifikasi laba akuntansi untuk memperoleh tanggapan positif terhadap kinerja mereka disamping juga untuk memperoleh tanggapan positif dari pasar atas informasi yang disajikannya. Definisi lainnya diungkapkan oleh Dechow et al. (1996) bahwa manajemen laba adalah manipulasi laba, baik di dalam maupun diluar batas-batas yang ditentukan oleh Generally Accepted Accounting Principles (GAAP). Perilaku untuk melaporkan laba positif memiliki dua dimensi, yaitu ditinjau dari konsep agency theory (Watts dan Zimmerman 1986) dan signaling theory (Hayn 1995) dalam Gumanti (2000).
Pada penelitian Burgstahler (1998) dalam Kim et al. (2003) dan Degeorge et al. (1999) berhasil membuktikan hipotesis mereka bahwa manajer memiliki dorongan untuk menghindari pelaporan penurunan laba (earnings decreases) atau pelaporan kerugian (earnings losses) melalui pelaporan laba positif. Lebih jauh Burgstahler dan Dichev (1997) mengemukakan bahwa 8-12% perusahaan yang telah  melakukan  manipulasi laba bertujuan untuk menghindari pelaporan kerugian, dan 30- 40% perusahaan terbukti melakukan manipulasi laba untuk memperoleh laporan peningkatan laba positif. Kim et al. (2003) melakukan penelitian yang secara spesifik memfokuskan pada hubungan antara ukuran perusahaan dengan manajemen laba, mereka berhasil membuktikan hipotesis mereka bahwa perusahaan dengan ukuran apapun terindikasi melakukan manajemen laba melalui mekanisme pelaporan laba positif untuk menghindari earnings losess, meskipun mereka gagal membuktikan bahwa semua perusahaan terindikasi menghindari earnings decreases.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memperoleh bukti empiris bahwa perusahaan berukuran sedang dan besar berpengaruh dan lebih agresif melakukan manajemen laba dengan senantiasa melaporkan laba positif, untuk menghindari pelaporan kerugian (earnings losses) dan bahwa perusahaan berukuran sedang dan besar berpengaruh dan lebih agresif melakukan mana- jemen laba dengan senantiasa melaporkan laba positif, untuk menghindari pelaporan penurunan laba (earnings decreases).



Penelitian ini disusun dengan urutan penulisan sebagai berikut pertama, pendahuluan menjelaskan mengenai latar belakang  masalah, tujuan penelitian dan organisasi penulisan. Kedua, menguraikan teori dan hasil penelitian sebelumnya sebagai dasar pengembangan hipotesis. Ketiga, metoda penelitian terdiri atas pemilihan sampel dan pengumpulan data, definisi operasional dan pengukuran variabel. Keempat, hasil penelitian yang berisi hasil dan interpretasi pengujian hipotesis. Terakhir, penutup yang berisi simpulan, keterbatasan penelitian dan saran untuk peneltian selanjutnya.

RERANGKA TEORITIS DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS

Agency Theory

Isu penting dalam suatu sistem pengawasan adalah masalah hubungan keagenan yang digambarkan oleh Jensen and Meckling (1976) sebagai kon- trak antara satu atau lebih pihak (sebagai principal) dengan pihak-pihak lainnya (sebagai agent), untuk melaksanakan wewenang dan pengambilan keputusan atas nama prinsipal. Konsep  Agency theory menurut Anthony  dan Govindarajan (1995) adalah hubungan atau kontrak antara principal dan agen. Prinsipal mempekerjakan agen untuk melakukan tugas untuk kepen- tingan prinsipal, termasuk pendelegasian otoritas pengambilan  keputusan dari principal kepada agen. Ada dua tipe masalah keagenan yaitu Adverse selection dan Moral Hazard.
Berle dan Means (1932) telah memperkenalkan masalah keagenan dengan menyatakan bahwa pemisahan kepemilikan membawa dampak berku- rangnya pengawasan terhadap perusahaan oleh owners. Lebih lanjut Jensen and Mecklin (1976) membahas mengenai aspek teori dan empiris dari teori keuangan perusahaan modern, dengan memformulasikan agency cost seba- gai konflik kepentingan antara manajer dan stockholders. Aktivitas moni- toring akan menimbulkan monitoring cost, yang tidak dapat dihindari sebagai upaya owner untuk melakukan fungsi kontrol terhadap agent. Bonding cost timbul sebagai akibat adanya upaya pihak manajemen untuk membuat kesan yang atraktif kepada pemegang saham atau publik. Menurut Cai (2005) bahwa dengan mengaplikasikan Internasonal Accounting Standard (IAS), menggunakan KAP dengan reputasi baik, memiliki komisaris independen dari luar perusahaan, diversifikasi kepemilikan dan listing pada bursa efek, adalah merupakah mekanisme dalam praktik bonding. Political cost menurut Watts dan Zimmerman (1978) adalah cost yang harus dikeluarkan berkaitan dengan kebijakan regulasi pemerintah seperti pajak, tarif dan retribusi lain- nya.  Menurut  Size Hypothesis  (Watt  dan Zimmerman  1986),  ukuran per-



usahaan  adalah merupakan proksi  yang direkomendasikan dalam  kerangka
political cost.

Signaling Theory

Signaling theory tidak dapat dipisahkan dengan keberadaan asimetri informasi. Dalam kerangka asimetri informasi yang terjadi antara principal dan agen mengungkapkan bahwa sinyal dari perusahaan, merupakan hal krusial yang harus diperhatikan agar perusahaan berhasil memperoleh atau mempertahankan sumber daya ekonomi (Ross 1973). Secara politis, perusa- haan berupaya memberikan informasi sebaik mungkin untuk memperoleh tanggapan positif dari pemegang otoritas pemerintahan, bahwa perusahaan telah memindahkan asset mereka melalui mekanisme pajak, retribusi dan social responsibility lainnya. Menurut hipotesis signaling, hal tersebutlah yang memotivasi manajer untuk melakukan corporate disclosure (Watt dan Zimmerman 1986). Perusahaan termotivasi untuk memberikan sinyal positif kepada semua pihak untuk meningkatkan harga saham maupun kredibilitas (Wild et al. 2003). Bahkan Wild et al. (2003)lebih jauh mengemukakan kecenderungan terkini atas motivasi manajer dalam melakukan voluntary disclosure, adalah dalam rangka mengatur berbagai harapan, baik dari investor maupun pemerintah.

Manajemen Laba

Pandangan paling terkini tentang manajemen laba dikemukakan oleh Healy dan Wahlen (1998) yang menyebutkan bahwa manajemen laba adalah proses di mana manajer memiliki kemampuan untuk menggunakan deskresi yang mereka miliki untuk menyesatkan stakeholders atau mempengaruhi hasil kontraktual mereka dengan owner. Sedangkan Subramanyam et al. (2004) secara ekstrim mengungkapkan bahwa earnings management dapat dikatakan sebagai cosmetic, manajer melakukan manipulasi akrual tanpa ada konsekuensi cash flow.
Informasi laba menjadi bagian dari laporan keuangan yang dianggap paling penting, karena informasi tersebut secara umum dipandang sebagai representasi kinerja manajemen pada periode tertentu. Ahmed dan Belkaoui (2000) menjabarkan pentingnya informasi laba bagi pihak-pihak yang berke- pentingan, pertama karena laba dijadikan dasar bagi perusahaan dalam me- nentukan kebijakan dividen. Kedua, laba merupakan dasar dalam memper- hitungkan kewajiban perpajakan perusahaan. Ketiga, laba dipandang sebagai petunjuk dalam menentukan arah investasi dan pembuat keputusan ekonomi. Keempat, laba diyakini sebagai sarana prediksi yang membantu dalam mem- prediksi laba dan kejadian ekonomi di masa mendatang, dan kelima, laba dijadikan pedoman dalam mengukur kinerja manajemen.



Ukuran Perusahaan

Sebagian besar peneliti menggunakan ukuran perusahaan sebagai proksi sensitifitas politis dan perilaku manajer dalam melaporkan kinerja keuangannya (Pacecca 1995). Zimmerman (1983) menyarankan untuk meng- gunakan proksi ukuran perusahaan dalam kerangka political cost. Berda- sarkan size hypothesis yang dipaparkan oleh Watt dan Zimmerman (1986), berasumsi bahwa perusahaan besar secara politis, lebih besar melakukan transfer political cost dalam kerangka politic process, dibandingkan dengan perusahaan kecil. Lebih lanjut beberapa peneliti berhasil membuktikan bah- wa political process memiliki dampak pada pemilihan prosedur akuntansi oleh perusahaan yang berukuran besar (Watt dan Zimmerman 1986).

Pertumbuhan Penjualan

Pertumbuhan penjualan yang dimiliki perusahaan, dapat memotivasi manajer dalam memperoleh laba. Menurut Kim et al. (2003) bahwa perusa- haan yang memiliki pertumbuhan penjualan yang tinggi, kemungkinan tidak termotivasi dalam melakukan tindakan manipulasi laba untuk melaporkan laba. Sebaliknya jika perusahaan memiliki pertumbuhan penjualan rendah, maka akan memiliki kecenderungan untuk menyesatkan laporan laba atau perubahan laba melalui tindakan manipulasi laba. Namun demikian, peru- sahaan dengan tingkat pertumbuhan penjualan yang tinggi juga memiliki motivasi dalam melakukan manajemen laba dalam memperoleh laba, mana- kala mereka dihadapkan pada permasalahan untuk tetap mempertahankan trend laba dan trend penjualan. Myers dan Skinner (2000) menjelaskan bah- wa sebagian besar perusahaan memiliki kencendrungan untuk mengontrol angka pertumbuhan penjualan yang dapat berdampak pada pengukuran besar kecilnya perusahaan.

Capital Intencity Ratio

Menurut Kim et al. (2003) bahwa Capital intensity diukur berdasar- kan rasio antara jumlah aktiva tetap terhadap total aktiva yang mempenga- ruhi motivasi manajer dalam melaporkan laba perusahaan. Lebih lanjut Kim et al. (2003) menyatakan bahwa perusahaan dengan rasio capital intensity (CIR) yang lebih tinggi akan memiliki kecendrungan untuk melakukan me- manipulasi dengan tujuan memperoleh laba.
Beberapa perusahaan memiliki kebijakan akrual masing-masing dan dapat berpengaruh pada besar kecilnya laba yang dilaporkan. Francis et al. (1999) menyinggung bahwa prosedur capital intensity perusahaan kadang berdampak pada konsekuensi akrual jangka panjang.



Ukuran Kantor Akuntan Publik

Pemeriksaan eksternal dapat menekan terjadinya asimetri informasi yang terjadi antara stakeholders dan manajemen dengan mengijinkan pihak di luar perusahaan melakukan verifikasi dan validasi lapopran keuangan yang disajikan oleh pihak manajemen. Connie et al. (1998) berpendapat bahwa keefektifan suatu pemeriksaan dan kemampuannya dalam mencegah pelapor- an laba secara oportunistik, diharapkan datang dari integritas auditor yang tinggi.
Banyak studi yang dilakukan berkaitan dengan kualitas laporan keu- angan perusahaan dan keberhasilan mengelola corporate governance, yang dikaitkan dengan reputasi dan kredibilitas kantor akuntan yang memeriksa- nya. Proksi yang umum digunakan dalam melakukan studi hubungan antara kualitas laporan dengan kantor akuntan yang memeriksanya, adalah apakah kantor akuntan eksternal tersebut termasuk dalam kantor akuntan besar atau tidak. Watts dan Zimmerman (1986) menyebutkan bahwa semakin besar ukuran KAP akan semakin baik kualitas audit perusahaan. Francis et al. (1999) menyebutkan bahwa hasil audit perusahaan yang diaudit oleh kantor akuntan publik yang tidak masuk dalam the big four, terindikasi lebih ba- nyak melakukan pelaporan laba oportunistik, dari pada perusahaan yang diaudit oleh kantor akuntan yang masuk dalam the big four. Lenox (1999) memperoleh hasil yang hampir sama bahwa ukuran kantor akuntan publik berkorelasi positif terhadap akurasi pelaporan keuangan. Namun penelitian di Indonesia yang dilakukan oleh Siregar dan Utama (2005) gagal membuk- tikan bahwa bahwa ukuran KAP mempunyai pengaruh signifikan terhadap praktik manajemen laba.

Komisaris Independen

Komisaris independen merupakan representasi dari kepentingan minority interest. Keberadaan komisaris independen dimaksudkan untuk melindungi mereka dari kemungkinan terjadinya asimetri informasi dan tindakan oportunistik manajemen. Menurut Wiesbach (1988) di dalam Xie  et al. (2001) bahwa Dewan Komisaris adalah lini terdepan dalam menekan perilaku oportunistik manajemen. Dewan komisaris memiliki tiga tanggung- jawab besar dalam perusahaan, yaitu pertama bertanggungjawab atas arahan strategis bagi perusahaan (Cairnes 2003). Kedua memberikan advis dan landasan bagi terbentuknya jaringan dalam komunitas korporat. Ketiga, atas nama pemegang saham dewan komisaris melakukan fungsi monitoring ter- hadap eksekutif.
Studi empiris dari beberepa penelitian terdahulu berhasil membukti- kan bahwa keberadaan komisaris independen berkorelasi positif   terhadap



kandungan informasi laba perusahaan. Hal tersebut selaras dengan hasil pe- nelitian yang dilakukan oleh Anderson et al. (2003). Hal serupa juga dike- mukakan oleh Klein (2002) bahwa besaran akrual diskresioner lebih tinggi untuk perusahaan yang mempunyai komite audit yang terdiri dari sedikit komisaris independen, dibandingkan perusahaan yang mempunyai komite audit yang terdiri dari banyak komisaris independen. Xie et al. (2003) dan Chtourou et al. (2001) memperkuat indikator bahwa besarnya komisaris in- dependen berkorelasi negatif dengan manajemen laba. Kenaikan komposisi komisaris independen akan menaikkan kemampuan komisaris dalam mela- kukan pengawasan (Levrau dan Berghe 2007). Penelitian serupa di Indone- sia yang dilakukan oleh Siregar dan Utama (2005) juga gagal membuktikan bahwa keberadaan struktur komsiaris independen berpengaruh secara signi- fikan terhadap pratik manajemen laba.

Perusahaan dan Manajemen Laba

Kencenderungan melaporkan laba positif diduga kuat sering dilaku- kan oleh perusahaan-perusahaan berukuran sedang dan besar. Alasan yang mendasari dugaan tersebut adalah karena (Kim et al. 2003) (1) Memperta- hankan kredibilitas mereka di dalam komunitas bisnis dan tanggungjawab sosial, termasuk kredibilitas dalam penyajian informasi keuangan; (2) Kemam- puan untuk menggunakan kecanggihan teknologi melalui sistem informasi yang memadai; (3) Dijadikan acuan oleh analis keuangan dalam melakukan analisa pasar; (4) Lebih banyak menghadapi tekanan agar kinerja mereka sesuai dengan yang diharapkan oleh pasar dan para analis; (5) Memiliki po- sisi tawar kepada eksternal auditor yang memeriksanya. Berdasarkan uraian tersebut di atas, menarik untuk meneliti kembali hubungan antara ukuran perusahaan dan earnings reporting behaviour, dengan mengajukan hipotesis sebagai berikut:
H1 Perusahaan berukuran sedang dan besar diduga lebih agresif melakukan manajemen laba melalui mekanisme pelaporan laba positif, untuk menghindari pelaporan kerugian (earnings losses) dibandingkan dengan perusahaan kecil.
H2 Perusahaan berukuran sedang dan besar diduga lebih agresif melakukan manajemen laba melalui mekanisme pelaporan laba positif, untuk meng- hindaripelaporan penurunan laba (earnings decreases) dibandingkan dengan perusahaan kecil.



METODA PENELITIAN

Pemilihan Sampel dan Pengumpulan Data
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh perusahaan manufaktur yang listing di Bursa Efek Indonesia periode 2003 sampai 2006. Pemilihan rentang waktu tersebut didasarkan pada pertimbangan bahwa selama tahun 2003 sampai 2006 kondisi perekonomian relatif stabil. Penentua sampel dilakukan dengan menggunakan teknik Purposive Sampling, disajikan pada tabel berikut ini:

Tabel 1 Hasil Pemilihan Sampel


No
Kriteria
Jumlah
1
Jumlah perusahaan manufaktur yang terdaftar di BEJ selama periode 2003-2006


536
2
Jumlah perusahaan yang didelisting selama periode pengamatan


(56)
3
Perusahaan yang tidak lengkap datanya
(84)
4
Perusahaan yang mata uang pelaporannya selain rupiah
(16)

Jumlah sampel
380

Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel
Varibel bebas yang digunakan dalam penelitian ini adalah ukuran perusahaan (size), yang dikelompokkan berdasarkan market value pada tiap-tiap akhir tahun penelitian, yaitu jumlah saham yang beredar dikalikan dengan harga pasar saham. Perusahaan yang memiliki market value di atas 1 trilyun rupiah, dikategorikan besar, bila memiliki market value lebih besar dari 100 milyar rupiah dan lebih kecil dari 1 trilyun rupiah, dikategorikan sedang, dan kategori kecil, bila memiliki market value di bawah 100 milyar rupiah. Variabel dummy digunakan untuk memproksikan variabel ukuran perusahaan, perusahaan ukuran sedang dan besar diberi kode 1 dan perusa- haan kecil diberi kode 0).
Dalam penelitian ini, laba adalah merupakan variabel dependen, di mana cara pengukurannya menggunakan model penelitian terdahulu yang telah dilakukan oleh Burgstahler dan Dichev (1997) serta Kim et al. (2003). Proksi yang digunakan adalah skala laba (avoid earnings losses) dan skala perubahan laba (avoid earnings decreases). Kedua proksi tersebut di atas dapat dijabarkan dengan rumus sebagai berikut:

Text Box: NIt/MVt-1

Panel A Skala laba



Keterangan:
Nit:        Net Income pada tahun pengamatan, dan MVFt-1Market value tahun lalu
Panel B: Skala Perubahan Laba
(NIt – NIt-1)/MVt-2
Keterangan:
NI-NIt-1: Net Income pada tahun pengamatan dikurangi Net  Income
tahun lalu,
MVFt-2:  Market value dua tahun lalu.
Variabel kontrol, kinerja laba dari tahun lalu dihitung dengan rumus sebagai berikut:
NIt – NIt-1
Keterangan:
NIt:    Net Income pada tahun pengamatan, NIt-1: Net Income tahun sebelumnya.
Nilai yang dihasilkan akan diidentifikasikan antara yang bernilai positif dan negatif. Kinerja laba yang akan diberi kode 1 dan kinerja rugi diberi kode 0. Koefisien dari variabel dummy ini diharapkan bernilai positif, untuk membuk- tikan bahwa perusahaan berpedoman pada laba periode sebelumnya, untuk melaporkan sedikit kenaikan laba pada tahun berjalan.
Variabel kontrol, pertumbuhan penjualan dihitung dengan rumus sebagai berikut:
Text Box: (Rt – Rt-1)/Rt-1

Keterangan:
Rt: Revenue pada tahun pengamatan, Rt-1: Revenue pada tahun lalu.
Variabel kontrol, capital intencity dihitung berdasarkan capital intencity ratio (CIR) yaitu jumlah aktiva tetap di bagi dengan total asset. Variabel kontrol, status kantor akuntan publik dimaksudkan untuk mengukur kua- litas audit. Status Kantor Akuntan publik diukur dengan variabel dummy, nilai 1 untuk KAP Indonesia yang berafiliasi dengan KAP Big four (KAP besar) dan nilai 0 jika KAP Indonesia yang tidak terafiliasi dengan KAP Big four (KAP kecil). Variabel kontrol, proporsi dewan komisaris independen dihitung dengan membagi jumlah dewan komisaris independen dengan total anggota dewan komisaris. Bilamana proporsi komisaris independen mayoritas yang berasal dari luar perusahaan di atas 50% dikategorikan sebagai proporsi komisaris independen mayoritas dan  proporsi



di bawah 50% dikategorikan monoritas (Sarkar et al. 2006). Variabel dummy akan digunakan untuk mengukur variabel komisaris independen, proporsi mayoritas komisaris independen akan diberi kode 1, dan proporsi minoritas diberi kode 0.

Metoda Analisis Data

Untuk menjawab hipotesis yang diajukan bahwa perusahaan beru- kuran sedang dan besar diduga lebih agresif dalam melaporkan laba positif untuk menghindari earnings losses atau earnings decreases, diuji melalui analisa parametrik multivariate probit analysis antara variabel ukuran peru- sahaan dengan manajemen laba yang diproksi ke dalam skala laba dan skala perubahan laba. Hipotesis akan diterima bilamana probabilitas koefisien regresinya bernilai positif signifikan pada α<0,05.
Lebih lanjut penelitian ini akan menggunakan binary probit model dengan persamaan matematis sebagai berikut:
a.        Panel A Skala Laba
Prob(Y1=1) = F(ß(Size, Earning, Growth, CIR, KAP, KI))
b.        Panel B Skala Perubahan Laba
Prob(Y2=1) = F(ß(Size, Earning, Growth, CIR, KAP, KI))
Keterangan:
Prob (Y=1):  Probabilitas variabel dependen (perilaku laba)
F:                  Fungsi F
ß :                 nilai Koefisien
Size:              Ukuran perusahaan
Earnings:     Kinerja laba perioda sebelumnya
Growth:        Pertumbuhan penjualan CIR:  Capital Intencity Ratio
KAP:            Status KAP
KI:                Proporsi Komisaris Independen


HASIL PENELITIAN


Statistik deskriptif berusaha mendeskripsikan sebaran nilai dari masing-masing variabel dalam penelitian ini. Statistik deskriptif digambarkan pada tabel 2.



Tabel 2 Statistik Deskriptif Variabel Penelitian


Variabel
n
Min
Max
Mean
Std Dev
Ukuran Perusahaan
380
5.280
63.559.178
2.249.819
7.138.170
Kinerja Laba
380
-2.964.002
1.207.171
-3.885
260.277
Pertumbuhan
380
-100%
21927%
69%
1125%
CIR
380
0%
139%
41%
22%
KAP
380
0
1
0,4
0,5
Kom.Independen
380
0%
80%
40%
12%

Tabel 3     Distribusi  Frekwensi Variabel Ukuran Perusahaan, Kinerja Laba, Status KAP

Keterangan
Jumlah
Persentase
Ukuran:
Kecil

99

26%
Sedang
188
49%
Besar
93
25%
Kinerja laba:


Positif
196
52%
Negatif
184
48%
Status KAP:


Afiliasi Big four
228
60%
Non Afiliasi Big four
152
40%
Komisaris Independen:
Mayoritas
132
35%
Minoritas
248
65%



Tabel 4 Statistik Deskriptif Skala Laba dan Skala Perubahan Laba

Ukuran
n
Mean
Median
Std. Dev
Range
Min
Max
Panel A: Skala Laba
Kecil
124
-0,117
0,041
1,270
15,000
-10,834
4,165
Sedang
176
0,060
0,043
0,548
7,450
-1,126
6,324
Besar
80
0,070
0,067
0,140
1,086
-0,325
0,761
Total
380
0,900
0,500
0,821
17,159
-10,834
6,324
Panel B: Skala Perubahan Laba
Kecil
124
0,076
0,005
1,402
14,338
-5,213
9,124
Sedang
176
-0,005
-0,002
0,984
16,796
-6,317
10,479
Besar
80
-0,040
0,002
0,369
3,524
-3,119
0,405
Total
380
0,014
0,012
1,500
16,796
-6,317
10,479

Hasil uji distribusi frekuensi untuk mendeteksi apakah ukura e2u sAhaan tertentu memiliki kecenderungan berperilaku selalu melaporkan laba untuk menghindari eanings losses atau earnings decreases, adalah sebagai berikut histogram skala laba pada kelompok perusahaan kecil, sedang dan besar, terindikasi terjadi discontinue at mean zero. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa semua ukuran perusahaan cenderung melaporkan laba untuk menghindari pelaporan kerugian (earnings losses). Kesimpulan terse- but didukung pula dengan uji t-test, di mana uji t-test pada kelompok peru- sahaan kecil menunjukkan hasil yang signifikan pada 0,006, sedangkan pada kelompok perusahaan sedang juga menunjukkan hasil yang signifikan pada 0,000. Hasil uji t-test untuk ukuran perusahaan besar menunjukkan hasil yang sama, yaitu signifikan pada pada 0,000, sehingga pada total keseluruhan perusahaan juga memperoleh hasil serupa, yaitu signifikan pada 0,000. Hasil pengujian tersebut mendukung uji distribusi frekuensi, bahwa pada skala  laba terjadi discontinue at mean zero.

Tabel 5 Hasil Uji t-test Kelompok Ukuran Perusahaan pada Skala Laba


Ukuran Perusahaan
T
Sig.
Mean Diff.
Kecil
2,845
0,006
0,04486
Sedang
5,627
0,000
0,05260
Besar
5,733
0,000
0,06374
Total
7,973
0,000
0,05358



Histogram distribusi frekuensi skala laba berdasar ukuran perusahaan dapat dilihat pada gambar 1,2 dan 3:














Gambar 1 Histogram Distribusi Frekuensi Skala Laba pada Kelompok Perusahaan Kecil



Gambar 2 Histogram Distribusi Frekuensi Skala Laba pada Kelompok Perusahaan Sedang


Gambar 3 Histogram Distribusi Frekuensi Skala Laba pada Kelompok Perusahaan Besar

Histogram skala perubahan laba pada kelompok perusahaan kecil, sedang dan besar, terindikasi tidak terjadi discontinue at mean zero, sehingga dapat disimpulkan bahwa semua ukuran perusahaan memiliki kecenderung- an melakukan manajemen laba, untuk menghindari pelaporan penurunan laba (earnings decreases). Kesimpulan tersebut didukung pula dengan hasil uji t-test, nilai signifikansi uji t-test pada kelompok perusahaan kecil sebesar 0,693, pada kelompok perusahaan sedang sebesar 0,072 dan pada kelompok perusahaan ukuran besar sebesar 0,751. Hal ini berarti bahwa secara statistik hasil uji tidak signifikan pada α sebesar 0,05. Hasil pengujian tersebut men- dukung uji distribusi frekuensi bahwa pada skala perubahan laba tidak terjadi discontinue at mean zero.

Tabel 6 Hasil Uji t-test Kelompok Ukuran Perusahaan pada Skala Perubahan Laba


Ukuran Perusahaan
t
Sig.
Mean Diff.
Kecil
0,397
0,693
0,00621
Sedang
-1,180
0,072
-0,01501
Besar
0,319
0,751
0,00281
Total
-0,911
0,363
-0,00556



Histogram distribusi frekuensi perubahan skala laba berdasar ukuran perusahaan dapat dilihat pada gambar 4,5 dan 6

Gambar 4 Histogram Distribusi Frekuensi Skala Perubahan Laba pada Kelompok Perusahaan Kecil


Gambar 5 Histogram Distribusi Frekuensi Skala Perubahan Laba pada Kelompok Perusahaan Sedang



Gambar 6 Histogram Distribusi Frekuensi Skala Perubahan Laba pada Kelompok Perusahaan Besar

Analisa probit dilakukan untuk memperoleh jawaban atas hipotesis yang diturunkan, bahwa perusahaan sedang dan besar diduga lebih agresif dalam melaporkan laba positif untuk menghindari earnings losses atau earnings decreases, dibandingkan dengan perusahaan kecil. Hasil pengujian analisa probit untuk skala laba dapat dilihat pada tabel 7 berikut:

Tabel 7 Panel A Hasil Regresi Probit Analisis Skala Laba Parameter Estimate


Parameter
Estimate
St. Error
Z
Sig.
Konstanta
-2,896
0,069
-42,245
0,000
Size
0,073
0,054
1,350
0,177
Kinerja Laba
0,076
0,044
1,743
0,081
Pertumbuhan
0,000
0,000
1,076
0,282
CIR
0,002
0,001
1,753
0,080
Status KAP
0,085
0,044
1,953
0,051
Kom. Independen
-0,050
0,045
-1,107
0,268



Tabel 8 Hasil Uji Chi-Square


Chi-Square
d.f.a
Sig.
Pearson Goodness-of-Fit Test
721,005
370
0,000

Pearson Goodness-of-Fit Test Chi-Square menunjukkan nilai proba- bilitas yang signifikan pada α<0,05, sehingga dapat disimpulkan bahwa mo- del fit. Variabel independen dapat menjadi prediktor atas variabel dependen. Ukuran perusahaan menghasilkan nilai koefisien positif sebesar 0,073 dan nilai Z 1,350 pada tingkat signifikansi 0,177. Artinya bahwa  baik perusahaan kecil, sedang, maupun perusahaan besar terindikasi cenderung melaporkan laba positif untuk menghindari pelaporan kerugian. Meskipun nilai koefisien dummy ukuran perusahaan menunjukkan angka positif, namun secara statistik, probabilitas hubungan antara ukuran perusahaan dengan skala laba tidak signifikan pada α>0,05. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa H1 tidak dapat diterima, artinya perusahaan berukuran sedang dan besar tidak terbukti lebih agresif melakukan manajemen laba untuk menghin- dari pelaporan kerugian (earnings losses). Hasil penelitian ini tidak konsisten dengan hasil penelitian Kim et al. (2003). Mereka berpendapat bahwa perusa- haan besar lebih cenderung melakuakan manajemen laba untuk menghindari earnings losses.
Hasil tersebut di atas juga sesuai dengan size hyphotesis yang dikemu- kakan Watt dan Zimmerman (1986). Secara politis perusahaan sedang dan besar lebih mendapat perhatian dari berbagai pihak termasuk para analis keuangan dan pemerintah dibandingkan dengan perusahaan kecil. Pelaporan laba yang mencolok akan mendapat perhatian dari institusi pemerintahaan, terutama konsekuensi atas pajak dan biaya sosial lainnya.
Pengaruh kinerja laba periode sebelumnya, bernilai koefisien positif sebesar 0,076 dengan nilai Z 1,743 pada tingkat signifikansi 0,081. Koefisien positif mengindikasikan bahwa informasi laba positif pada tahun lalu dijadi- kan pedoman dalam menginformasikan laba pada tahun berjalan, meskipun secara statistik, probabilitasnya tidak signifikan pada α>0,05. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kinerja laba periode sebelumnya tidak signifikan mempengaruhi probabilitas terjadinya manajemen laba melalui mekanisme pelaporan laba positif, untuk menghindari earnings losses. Hasil tersebut konsisten dengan dengan hasil penelitian terdahulu yang diperoleh Kim et al. (2003).
Pengaruh pertumbuhan penjualan, memiliki nilai koefisien positif sebesar 0,000 dengan nilai Z 1,706 pada tingkat signifansi 0,282. Nilai koefi- sien positif mengindikasikan bahwa mekanisme pertumbuhan    penjualan



dipergunakan oleh perusahaan untuk melakukan manajemen laba melalui mekanisme pelaporan laba positif, meskipun secara statistik menunjukkan probabilitas yang tidak signifikan pada α>0,05. Dengan demikian dapat di- simpulkan bahwa pertumbuhan penjualan tidak signifikan mempengaruhi probabilitas terjadinya manajemen laba untuk menghindari earnings losses. Hasil tersebut konsisten dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Kim et al. (2003).
Pengaruh capital intencity, memiliki nilai koefisien positif sebesar 0,002 dengan nilai Z 1,753 pada tingkat signifikansi 0,080. Hasil penelitian ini mengindikasikan bahwa besarnya CIR tidak berpengaruh terhadap praktik manajemen laba melalui mekanisme pelaporan laba positif, untuk menghindari earnings losses. Hasil tersebut juga diperkuat secara statistik bahwa proba- bilitas hubungan CIR dengan manajemen laba tidak signifikan pada α>0,05. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa CIR tidak berpengaruh terhadap probabilitas terjadinya manajemen laba untuk menghindari earnings losses. Hasil penelitian ini konsisten dengan hasil penelitian sebelumnya dari Kim  et al. (2003).
Pengaruh status KAP, bernilai koefisien positif sebesar 0,085 dengan nilai Z 0,051, pada tingkat signifikansi 0,051. Hasil penelitian ini mengindi- kasikan bahwa status KAP tidak berpotensi menurunkan praktik manajemen laba. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa status KAP big 4 tidak berpengaruh terhadap probabilitas terjadinya manajemen laba untuk meng- hindari earnings losses.
Hasil ini tidak konsisten dengan penelitian Kim et al. (2003) dan Francis et al. (1999), mereka menghasilkan koefisien negatif tidak signifikan. Dalam konteks penelitian serupa di Indonesia, hasil penelitian ini konsisten dengan penelitian Siregar dan Utama (2005), bahwa status KAP big four tidak berkorelasi dengan manajemen laba.
Besarnya proporsi komisaris independen, menghasilkan nilai koefi- sien negatif 0,05 dengan nilai Z -1,107 dan nilai signifikansi 0,268. Nilai koefisien negatif menunjukkan bahwa tingginya proporsi komisaris inde- penden dari luar perusahaan, berpotensi menurunkan praktik manajemen laba, meskipun secara statistik probabilitasnya tidak signifikan pada α>0,05. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tingginya proporsi komisaris independen secara tidak signifikan mempengaruhi probabilitas perusahaan dalam menurunkan praktik manajemen laba.
Hasil penelitian ini konsisten dengan penelitian sebelumnya untuk perusahaan-perusahaan di Indonesia (Siregar dan Utama 2005), hasil pene- litian mereka mengindikasikan bahwa proporsi komisaris independen tidak signifikan berpengaruh terhadap perilaku pelaporan laba.



Sedangkan hasil regresi probit analisis skala perubahan laba untuk menguji hipotesis 2 dapat dilihat dalam tabel 9 dan 10 berikut ini:

Tabel 9 Panel A Hasil Regresi Probit Analisis Skala Perubahan Laba Parameter Estimate


Parameter
Estimate
St. Error
Z
Sign
Size
-0,094
0,056
-1,677
0,094
Kinerja Laba
1,069
0,133
8,026
0,000
Pertumbuhan
0,000
0,000
3,687
0,000
CIR
-0,015
0,001
-11,214
0,000
Status KAP
-0,029
0,052
-0,556
0,578
Kom. Independen
0,088
0,050
1,758
0,079
Intercept
-3,122
0,139
-22,484
0,000

Tabel 10 Chi-Square Test


Chi-Square
d.f.a
Sig.
Pearson Goodness-of-Fit Test
1154,541
373
0,000

Pearson Goodness-of-Fit Chi-Square Test pada panel B juga menun- jukkan nilai probabilitas sebesar 0,000<0,05, sehingga dapat disimpulkan bahwa model penelitian ini fit. Variabel independen dapat menjadi prediktor atas variabel dependen. Secara statistik, efek marginal ukuran perusahaan perusahaan berukuran sedang dan besar menunjukkan nilai koefisien negatif sebesar -0,094 dengan nilai Z -1,677 dan nilai signifikansi 0,094. Hasil pene- litian ini menunjukkan bahwa ukuran perusahaan tidak berpengaruh praktik manajemen laba untuk melaporkan positif earnings. Penelitian ini secara statistik tidak dapat menolak hipotesis nol yang berarti bahwa perusahaan berukuran sedang dan besar tidak lebih agresif melakukan manajemen laba melalui mekanisme pelaporan laba positif, untuk menghindari pelaporan pe- nurunan laba (earnings decreases) dibandingkan dengan perusahaan kecil. Hasil penelitian ini konsisten dengan penelitian Burgstahler and Dichev (1997), meskipun tidak konsisten dengan hasil penelitian Kim et al. (2003).
Pengaruh kinerja laba periode sebelumnya, bernilai koefisien positif pada 1,069 dengan nilai Z 8,026 dan nilai signifikansi 0,000. Koefisien posi- tif mengindikasikan bahwa informasi laba positif pada tahun lalu, dijadikan pedoman oleh perusahaan dalam menginformasikan laba pada tahun    berja-



lan. Secara statistik, pengaruh kinerja laba terhadap manajemen laba untuk menghindari earnings decreases, sangat signifikan pada α<0,05. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kinerja laba periode sebelumnya sangat signifikan berpengaruh terhadap probabilitas terjadinya manajemen laba un- tuk menghindari earnings decreases. Hasil tersebut konsisten dengan hasil yang diperoleh Kim et al. (2003).
Pengaruh pertumbuhan penjualan, memiliki nilai koefisien positif pada 0,000 dengan nilai Z 3,687 dan nilai signifikansi 0,000. Nilai koefisien positif mengindikasikan bahwa mekanisme pertumbuhan penjualan, diperguna- kan oleh perusahaan dalam melakukan manajemen laba melalui mekanisme pelaporan laba positif, untuk menghindari earnings decreases. Secara sta- tistik pengaruh pertumbuhan penjualan terhadap manajemen laba, sangat signifikan pada α<0,05. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa per- tumbuhan penjualan sangat signifikan berpengaruh terhadap probabilitas terjadinya manajemen laba, untuk menghindari earnings decreases. Hasil tersebut konsisten dengan penelitian sebelumnya oleh Kim et al. (2003).
Pengaruh capital intencity, memiliki nilai koefisien negatif sebesar - 0,015 dengan nilai Z -11,214 dan nilai signifikansi 0,000. Hasil penelitian  ini menunjukan bahwa semakin besar CIR akan berkorelasi positif terhadap penurunan probabilitas terjadinya manajemen laba untuk menghindari earnings decreases. Hasil tersebut tidak konsisten dengan penelitian sebelum- nya yang dihasilkan oleh Kim et al. (2003).
Pengaruh status KAP, bernilai koefisien negatif sebesar -0,029 dengan nilai Z -0,556), dan nilai signifikansi 0,578. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa status KAP (berafiliasi dengan KAP Big four atau tidak berafiliasi de-ngan KAP Big four) tidak berpengaruh terhadap praktik manajemen laba untuk menghindari earnings decreases. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa status KAP big four tidak signifikan berpengaruh terhadap probabilitas perilaku laba positif untuk menghindari earnings losses. Hasil ini konsisten dengan penelitian Kim et al. (2003) dan konsisten pula dengan hasil peneli-tian di Indonesia oleh Siregar dan Utama (2005).
Hasil statistik pada variabel besarnya proporsi komisaris independen, memiliki nilai koefisien positif pada 0,088 dengan nilai Z 1,758 dan nilai signifikansi 0,079. Hasil tersebut menunjukkan bahwa tingginya proporsi dewan komisaris yang berasal dari luar perusahaan, tidak mempengaruhi probabilitas terjadinya manajemen laba, untuk bisa menghindari earnings decreases. Hasil penelitian ini konsisten dengan penelitian sebelumnya untuk perusahaan-perusahaan di Indonesia (Siregar dan Utama 2005), hasil penelitian mereka mengindikasikan bahwa proporsi komisaris independen tidak berkorelasi dengan perilaku pelaporan laba.



PENUTUP

Berdasarkan analisis data dan pembahasan yang telah dilakukan maka dapat diambil simpulan sebagai berikut pertama, hipotesis yang diajukan baik H1 maupun H2, tidak dapat diterima. Artinya perusahaan sedang dan besar, tidak terbukti lebih agresif dalam melakukan manajemen laba melalui mekanisme pelaporan laba positif, baik untuk menghindari earnings losses maupun earnings decreases. Seperti halnya Size Hypothesis, bahwa semakin besar perusahaan akan cenderung untuk menurunkan praktik manajemen laba, karena perusahaan besar secara politis lebih mendapat perhatian dari institusi pemerintahan dibandingkan dengan perusahaan kecil.
Kedua, variabel kontrol pertumbuhan penjualan, kinerja laba periode sebelumnya, capital intencity ratio, status KAP dan Komisaris Independen, tidak terbukti berpengaruh terhadap probabilitas terjadinya manajemen laba untuk menghindari earnings losess. Terakhir, pertumbuhan penjualan, ki- nerja laba periode sebelumnya, capital intencity ratio berpengaruh sangat signifikan terhadap perilaku pelaporan laba positif untuk bisa menghindari earnings decreases. Status KAP dan Komisaris Independen tidak berpenga- ruh pada perilaku tersebut.
Keterbatasan dalam penelitian ini adalah (1) penelitian ini tidak mela- kukan deteksi terhadap tingkat keagresifan perilaku manajemen laba antara perusahaan kecil, sedang dan besar, sehingga belum dapat melihat pada kelompok perusahaan berukuran apakah yang memiliki tingkat keagresifan yang lebih tinggi dalam melakukan manajemen laba, melalui mekanisme pelaporan laba positif; (2) Variabel-variabel yang disajikan di dalam peneli- tian ini, hanya berkaitan dengan sebagian kecil akun-akun yang ada dalam struktur laporan keuangan, diantaranya net income (kinerja laba), Capital Intensity Ratio (CIR), sales Growth (pertumbuhanpenjualan), dan market value (ukuran perusahaan); (3) Lingkup penelitian ini hanya pada industri manufaktur, sehingga hasil penelitian ini belum bisa dipergunakan sebagai pedoman bagi industri-industri lainnya.
Berdasarkan keterbatasan-keterbatasan tersebut, maka peneliti yang akan datang disarankan untuk (1) melakukan pengamatan lebih mendalam untuk mengidentifikasi tingkat keagresifan pada masing-masing kelompok ukuran perusahaan dalam melakukan manajemen laba; (2) Mengidentifikasi akun-akun lain sebagai variabel tambahan, yang digunakan perusahaan da- lam melakukan pengelolaan laba, sehingga hasilnya dapat melibatkan semua akun-akun penting yang berhubungan dengan pelaporan laba; (3) Memper- luas lingkup pengamatan terhadap industri-industri lainnya seperti perbankan, asuransi, dan jasa lainnya, dengan membuat perbandingan perilaku pelaporan