JURNAL BISNIS DAN AKUNTANSI Vol. 11, No. 1, April
2009, Hlm. 33 - 56
PENGARUH UKURAN PERUSAHAAN
TERHADAP MANAJEMEN LABA
RR. SRI HANDAYANI
dan AGUSTONO DWI RACHADI
Program
Magister Ilmu Akuntansi Universitas Diponegoro handayanifeundip@yahoo.com
Abstrak: This study investigated size effect to earnings management. In this study, it is investigated whether
medium and large-sized firm more aggressive
to use earnings management through reporting positive earnings to avoid
losses and/or earnings decreases by examining the earnings (change) frequency
distribution and probit analysis. Docu-mented is
empirical evidence that small-, medium- and large-sized firms tend
to report positive earnings to avoid
earnings losses. However, this
study observed that firm size plays
differing roles in earnings management. This study found that
medium-and large-sized firms do not engage more earnings management
aggressively than small firms for both avoiding reporting earnings losses and
earnings decreases.
Keywords: Firm size, earnings management, agency theory, signaling
theory, size hypothesis.
PENDAHULUAN
Fokus utama di dalam penelitian ini adalah untuk menganalisa kem- bali
apakah ukuran perusahaan berpengaruh terhadap probabilitas perilaku manajemen
laba melalui mekanisme pelaporan laba positif, untuk menghin- dari pelaporan kerugian (earnings
losses) atau penurunan laba (earnings decreases), serta faktor-faktor lainnya
yang diduga berinteraksi pada perilaku tersebut.
Ukuran perusahaan sebagai proksi dari
political
cost, dianggap sangat sensitif
terhadap perilaku pelaporan
laba (Watt and Zimmerman, 1978). Perusahaan berukuran
sedang dan besar lebih memiliki
tekanan yang kuat
33
dari para
stakeholdersnya, agar kinerja perusahaan sesuai dengan harapan para investornya
dibandingkan dengan perusahaan kecil. Hal ini mendorong manajemen untuk dapat
memenuhi harapan tersebut (Barton and Simko, 2002). Namun di lain pihak
Burgstahler dan Dichev (1997), Degeorge et
al. (1999), dan Kim et al. (2003)
mengemukakan bukti empiris yang berbeda, bahwa semua ukuran perusahaan terbukti
senantiasa melaporkan positive earnings,
untuk menghindari earnings losses atau
earnings decreases.
Perilaku manajer tersebut pada gilirannya akan cenderung berdampak pada adanya praktik manipulasi
dan perataan laba. Jensen (1976) menyebut- kan bahwa manipulasi laba adalah
tindakan manajer dalam memodifikasi laba
akuntansi untuk memperoleh tanggapan positif terhadap kinerja mereka disamping
juga untuk memperoleh tanggapan
positif dari pasar atas informasi
yang disajikannya. Definisi lainnya diungkapkan oleh Dechow et al. (1996) bahwa
manajemen laba adalah manipulasi laba, baik di dalam maupun diluar batas-batas yang ditentukan
oleh Generally Accepted Accounting
Principles (GAAP). Perilaku untuk melaporkan
laba positif memiliki dua
dimensi, yaitu ditinjau dari konsep agency theory (Watts dan Zimmerman
1986) dan signaling theory (Hayn
1995) dalam Gumanti (2000).
Pada penelitian Burgstahler
(1998) dalam Kim et al. (2003) dan
Degeorge et al. (1999) berhasil
membuktikan hipotesis mereka bahwa manajer memiliki dorongan untuk menghindari pelaporan penurunan laba (earnings decreases) atau pelaporan kerugian (earnings losses)
melalui pelaporan laba positif. Lebih jauh Burgstahler dan Dichev (1997)
mengemukakan bahwa 8-12% perusahaan yang telah
melakukan manipulasi laba
bertujuan untuk menghindari pelaporan kerugian, dan 30- 40% perusahaan terbukti
melakukan manipulasi laba untuk memperoleh laporan peningkatan laba positif.
Kim et al. (2003) melakukan penelitian
yang secara spesifik memfokuskan pada hubungan antara ukuran perusahaan
dengan manajemen laba, mereka berhasil membuktikan
hipotesis mereka bahwa perusahaan dengan ukuran apapun terindikasi
melakukan manajemen laba melalui mekanisme pelaporan laba positif untuk menghindari earnings losess, meskipun mereka gagal membuktikan bahwa semua perusahaan
terindikasi menghindari earnings decreases.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memperoleh bukti empiris bahwa
perusahaan berukuran sedang dan besar berpengaruh dan lebih agresif melakukan manajemen laba dengan senantiasa
melaporkan laba positif, untuk
menghindari pelaporan kerugian (earnings losses) dan bahwa perusahaan berukuran sedang dan besar berpengaruh
dan lebih agresif melakukan mana- jemen laba dengan senantiasa melaporkan laba
positif, untuk menghindari pelaporan penurunan laba (earnings decreases).
Penelitian ini disusun
dengan urutan penulisan sebagai
berikut pertama, pendahuluan
menjelaskan mengenai latar belakang
masalah, tujuan penelitian dan
organisasi penulisan. Kedua, menguraikan teori dan hasil penelitian
sebelumnya sebagai dasar pengembangan hipotesis. Ketiga, metoda penelitian
terdiri atas pemilihan sampel dan pengumpulan data, definisi operasional dan pengukuran variabel. Keempat, hasil penelitian yang berisi hasil dan
interpretasi pengujian hipotesis. Terakhir,
penutup yang berisi simpulan, keterbatasan penelitian dan saran untuk
peneltian selanjutnya.
RERANGKA TEORITIS DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS
Agency Theory
Isu penting dalam suatu sistem pengawasan adalah masalah
hubungan keagenan yang digambarkan oleh Jensen and Meckling (1976)
sebagai kon- trak antara satu atau lebih pihak (sebagai principal) dengan pihak-pihak lainnya (sebagai agent), untuk
melaksanakan wewenang dan pengambilan keputusan atas nama prinsipal.
Konsep Agency theory menurut Anthony
dan Govindarajan (1995) adalah hubungan atau kontrak antara principal
dan agen. Prinsipal mempekerjakan agen untuk melakukan tugas untuk kepen-
tingan prinsipal, termasuk pendelegasian otoritas pengambilan keputusan dari principal kepada agen. Ada dua
tipe masalah keagenan yaitu Adverse
selection dan Moral Hazard.
Berle dan Means (1932) telah memperkenalkan masalah
keagenan dengan menyatakan bahwa pemisahan kepemilikan membawa dampak berku- rangnya pengawasan terhadap
perusahaan oleh owners. Lebih lanjut
Jensen and Mecklin (1976) membahas mengenai aspek teori dan empiris dari teori
keuangan perusahaan modern, dengan memformulasikan agency cost seba- gai konflik kepentingan antara manajer dan stockholders. Aktivitas moni- toring akan menimbulkan monitoring cost, yang tidak dapat dihindari sebagai upaya owner untuk melakukan fungsi kontrol terhadap agent. Bonding cost timbul sebagai akibat
adanya upaya pihak manajemen untuk membuat kesan yang atraktif kepada pemegang saham atau publik. Menurut Cai
(2005) bahwa dengan mengaplikasikan Internasonal Accounting Standard (IAS),
menggunakan KAP dengan reputasi baik, memiliki komisaris independen dari luar
perusahaan, diversifikasi kepemilikan dan listing
pada bursa efek, adalah merupakah
mekanisme dalam praktik bonding. Political cost menurut Watts dan Zimmerman
(1978) adalah cost yang harus
dikeluarkan berkaitan dengan kebijakan regulasi pemerintah seperti pajak, tarif
dan retribusi lain- nya. Menurut Size
Hypothesis (Watt dan Zimmerman
1986), ukuran per-
usahaan adalah merupakan
proksi yang direkomendasikan dalam kerangka
political cost.
Signaling Theory
Signaling theory
tidak dapat dipisahkan dengan keberadaan asimetri informasi. Dalam kerangka
asimetri informasi yang terjadi antara principal dan agen mengungkapkan bahwa
sinyal dari perusahaan, merupakan hal krusial yang harus diperhatikan agar
perusahaan berhasil memperoleh atau mempertahankan sumber daya ekonomi (Ross
1973). Secara politis, perusa- haan berupaya memberikan informasi sebaik
mungkin untuk memperoleh tanggapan positif dari pemegang otoritas pemerintahan,
bahwa perusahaan telah memindahkan asset mereka melalui mekanisme pajak,
retribusi dan social responsibility lainnya.
Menurut hipotesis signaling, hal
tersebutlah yang memotivasi manajer untuk melakukan corporate disclosure (Watt dan Zimmerman 1986). Perusahaan
termotivasi untuk memberikan sinyal positif kepada semua pihak untuk
meningkatkan harga saham maupun kredibilitas (Wild et al. 2003). Bahkan Wild et
al. (2003)lebih jauh mengemukakan kecenderungan terkini atas motivasi
manajer dalam melakukan voluntary
disclosure, adalah dalam rangka mengatur berbagai harapan, baik dari
investor maupun pemerintah.
Manajemen
Laba
Pandangan paling terkini tentang manajemen laba
dikemukakan oleh Healy dan Wahlen (1998) yang menyebutkan bahwa manajemen laba
adalah proses di mana manajer memiliki kemampuan untuk menggunakan deskresi
yang mereka miliki untuk menyesatkan stakeholders
atau mempengaruhi hasil kontraktual mereka dengan owner. Sedangkan
Subramanyam et al. (2004) secara
ekstrim mengungkapkan bahwa earnings
management dapat dikatakan sebagai cosmetic,
manajer melakukan manipulasi akrual tanpa ada konsekuensi cash flow.
Informasi laba menjadi bagian dari laporan keuangan
yang dianggap paling penting, karena informasi tersebut secara umum dipandang
sebagai representasi kinerja manajemen pada periode tertentu. Ahmed dan
Belkaoui (2000) menjabarkan pentingnya informasi laba bagi pihak-pihak yang
berke- pentingan, pertama karena laba dijadikan dasar bagi perusahaan dalam me-
nentukan kebijakan dividen. Kedua, laba merupakan dasar dalam memper- hitungkan
kewajiban perpajakan perusahaan. Ketiga, laba dipandang sebagai petunjuk dalam
menentukan arah investasi dan pembuat keputusan ekonomi. Keempat, laba diyakini
sebagai sarana prediksi yang membantu dalam mem- prediksi laba dan kejadian
ekonomi di masa mendatang, dan kelima, laba dijadikan pedoman dalam mengukur
kinerja manajemen.
Ukuran
Perusahaan
Sebagian besar peneliti menggunakan ukuran perusahaan
sebagai proksi sensitifitas politis dan perilaku manajer dalam melaporkan kinerja keuangannya (Pacecca 1995). Zimmerman (1983) menyarankan untuk meng-
gunakan proksi ukuran perusahaan dalam kerangka political cost. Berda- sarkan size hypothesis yang dipaparkan oleh Watt dan Zimmerman (1986),
berasumsi bahwa perusahaan besar secara
politis, lebih besar melakukan transfer
political cost dalam kerangka politic
process, dibandingkan dengan perusahaan kecil. Lebih lanjut beberapa
peneliti berhasil membuktikan bah- wa political process memiliki dampak pada
pemilihan prosedur akuntansi oleh perusahaan yang berukuran besar (Watt dan
Zimmerman 1986).
Pertumbuhan
Penjualan
Pertumbuhan penjualan yang dimiliki perusahaan, dapat
memotivasi manajer dalam memperoleh laba. Menurut Kim et al. (2003) bahwa perusa- haan yang memiliki pertumbuhan
penjualan yang tinggi, kemungkinan tidak termotivasi dalam melakukan tindakan
manipulasi laba untuk melaporkan laba. Sebaliknya jika perusahaan memiliki
pertumbuhan penjualan rendah, maka akan memiliki kecenderungan untuk
menyesatkan laporan laba atau perubahan laba melalui tindakan manipulasi laba.
Namun demikian, peru- sahaan dengan tingkat pertumbuhan penjualan yang tinggi
juga memiliki motivasi dalam melakukan manajemen laba dalam memperoleh laba,
mana- kala mereka dihadapkan pada permasalahan untuk tetap mempertahankan trend laba dan trend penjualan. Myers dan
Skinner (2000) menjelaskan bah- wa sebagian besar perusahaan memiliki
kencendrungan untuk mengontrol angka pertumbuhan
penjualan yang dapat berdampak pada
pengukuran besar kecilnya perusahaan.
Capital Intencity Ratio
Menurut Kim et
al. (2003) bahwa Capital intensity diukur
berdasar- kan rasio antara jumlah aktiva tetap terhadap total aktiva yang
mempenga- ruhi motivasi manajer dalam melaporkan laba perusahaan. Lebih lanjut
Kim et al. (2003) menyatakan bahwa
perusahaan dengan rasio capital intensity (CIR) yang lebih tinggi akan memiliki
kecendrungan untuk melakukan me- manipulasi dengan tujuan memperoleh laba.
Beberapa perusahaan memiliki kebijakan akrual
masing-masing dan dapat berpengaruh pada besar kecilnya laba yang dilaporkan.
Francis et al. (1999) menyinggung
bahwa prosedur capital intensity perusahaan
kadang berdampak pada konsekuensi akrual jangka panjang.
Ukuran
Kantor Akuntan Publik
Pemeriksaan eksternal dapat menekan terjadinya
asimetri informasi yang terjadi antara stakeholders
dan manajemen dengan mengijinkan pihak di luar
perusahaan melakukan verifikasi dan
validasi lapopran keuangan yang disajikan
oleh pihak manajemen. Connie et al.
(1998) berpendapat bahwa keefektifan suatu
pemeriksaan dan kemampuannya dalam mencegah pelapor- an laba secara
oportunistik, diharapkan datang dari integritas auditor yang tinggi.
Banyak studi yang dilakukan berkaitan dengan kualitas laporan keu-
angan perusahaan dan keberhasilan mengelola corporate
governance, yang dikaitkan dengan reputasi dan kredibilitas kantor akuntan
yang memeriksa- nya. Proksi yang umum digunakan dalam melakukan studi hubungan
antara kualitas laporan dengan kantor akuntan yang memeriksanya, adalah apakah
kantor akuntan eksternal tersebut termasuk dalam kantor akuntan besar atau
tidak. Watts dan Zimmerman (1986) menyebutkan bahwa semakin besar ukuran KAP akan semakin baik kualitas audit perusahaan. Francis et al. (1999)
menyebutkan bahwa hasil audit perusahaan yang diaudit oleh kantor akuntan
publik yang tidak masuk dalam the big four, terindikasi
lebih ba- nyak melakukan pelaporan laba
oportunistik, dari pada perusahaan yang diaudit oleh kantor
akuntan yang masuk dalam the big four. Lenox (1999) memperoleh hasil yang
hampir sama bahwa ukuran kantor akuntan publik berkorelasi positif terhadap
akurasi pelaporan keuangan. Namun penelitian di Indonesia yang dilakukan oleh
Siregar dan Utama (2005) gagal membuk- tikan bahwa bahwa ukuran KAP mempunyai
pengaruh signifikan terhadap praktik manajemen
laba.
Komisaris
Independen
Komisaris independen merupakan representasi dari kepentingan minority
interest. Keberadaan komisaris independen dimaksudkan untuk melindungi
mereka dari kemungkinan terjadinya asimetri informasi dan tindakan oportunistik manajemen. Menurut Wiesbach (1988) di
dalam Xie et al. (2001) bahwa Dewan Komisaris adalah lini terdepan dalam
menekan perilaku oportunistik manajemen. Dewan komisaris memiliki tiga
tanggung- jawab besar dalam perusahaan, yaitu pertama bertanggungjawab atas arahan
strategis bagi perusahaan (Cairnes 2003).
Kedua memberikan advis dan
landasan bagi terbentuknya jaringan dalam komunitas korporat. Ketiga, atas nama
pemegang saham dewan komisaris melakukan fungsi monitoring ter- hadap eksekutif.
Studi empiris dari beberepa penelitian terdahulu berhasil membukti-
kan bahwa keberadaan komisaris independen berkorelasi positif terhadap
kandungan
informasi laba perusahaan. Hal tersebut selaras dengan hasil pe- nelitian yang
dilakukan oleh Anderson et al.
(2003). Hal serupa juga dike- mukakan oleh Klein (2002) bahwa besaran akrual
diskresioner lebih tinggi untuk perusahaan yang mempunyai komite audit yang
terdiri dari sedikit komisaris independen, dibandingkan perusahaan yang
mempunyai komite audit yang terdiri dari banyak komisaris independen. Xie et al. (2003) dan Chtourou et al. (2001) memperkuat indikator bahwa
besarnya komisaris in- dependen berkorelasi negatif dengan manajemen laba.
Kenaikan komposisi komisaris independen akan menaikkan kemampuan komisaris
dalam mela- kukan pengawasan (Levrau dan Berghe 2007). Penelitian serupa di
Indone- sia yang dilakukan oleh Siregar dan Utama (2005) juga gagal membuktikan
bahwa keberadaan struktur komsiaris independen berpengaruh secara signi- fikan
terhadap pratik manajemen laba.
Perusahaan dan Manajemen Laba
Kencenderungan melaporkan laba positif diduga kuat sering dilaku- kan
oleh perusahaan-perusahaan berukuran sedang dan besar. Alasan yang mendasari
dugaan tersebut adalah karena (Kim et al.
2003) (1) Memperta- hankan kredibilitas mereka di dalam komunitas bisnis dan
tanggungjawab sosial, termasuk kredibilitas
dalam penyajian informasi keuangan; (2)
Kemam- puan untuk menggunakan
kecanggihan teknologi melalui sistem informasi yang memadai; (3) Dijadikan
acuan oleh analis keuangan dalam melakukan analisa
pasar; (4) Lebih banyak menghadapi tekanan agar kinerja mereka
sesuai dengan yang diharapkan oleh pasar dan para analis; (5) Memiliki
po- sisi tawar kepada eksternal auditor yang memeriksanya. Berdasarkan uraian
tersebut di atas, menarik untuk meneliti kembali hubungan antara ukuran
perusahaan dan earnings reporting behaviour,
dengan mengajukan hipotesis sebagai berikut:
H1 Perusahaan berukuran sedang dan besar diduga
lebih agresif melakukan manajemen laba melalui mekanisme pelaporan laba
positif, untuk menghindari pelaporan kerugian (earnings losses) dibandingkan dengan perusahaan kecil.
H2 Perusahaan
berukuran sedang dan besar diduga lebih agresif melakukan manajemen laba
melalui mekanisme pelaporan laba positif, untuk meng- hindaripelaporan
penurunan laba (earnings decreases)
dibandingkan dengan perusahaan kecil.
METODA PENELITIAN
Pemilihan Sampel dan Pengumpulan Data
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh perusahaan manufaktur
yang listing di Bursa Efek Indonesia periode 2003 sampai 2006. Pemilihan
rentang waktu tersebut didasarkan pada pertimbangan bahwa selama tahun 2003
sampai 2006 kondisi perekonomian relatif stabil. Penentua sampel dilakukan
dengan menggunakan teknik Purposive
Sampling, disajikan pada tabel berikut ini:
Tabel 1 Hasil Pemilihan Sampel
No
|
Kriteria
|
Jumlah
|
1
|
Jumlah perusahaan
manufaktur yang terdaftar di BEJ selama periode 2003-2006
|
|
|
536
|
|
2
|
Jumlah perusahaan yang didelisting selama
periode pengamatan
|
|
|
(56)
|
|
3
|
Perusahaan yang
tidak lengkap datanya
|
(84)
|
4
|
Perusahaan yang
mata uang pelaporannya selain rupiah
|
(16)
|
|
Jumlah sampel
|
380
|
Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel
Varibel bebas yang digunakan dalam penelitian ini
adalah ukuran perusahaan (size), yang dikelompokkan berdasarkan market value pada tiap-tiap akhir tahun
penelitian, yaitu jumlah saham yang beredar dikalikan dengan harga pasar saham.
Perusahaan yang memiliki market value di atas 1 trilyun rupiah, dikategorikan
besar, bila memiliki market value lebih besar dari 100 milyar rupiah dan lebih
kecil dari 1 trilyun rupiah, dikategorikan sedang, dan kategori kecil, bila
memiliki market value di bawah 100 milyar rupiah. Variabel dummy digunakan untuk memproksikan variabel ukuran perusahaan,
perusahaan ukuran sedang dan besar diberi kode 1 dan perusa- haan kecil diberi
kode 0).
Dalam penelitian ini, laba adalah merupakan variabel dependen, di mana cara pengukurannya
menggunakan model penelitian terdahulu yang telah dilakukan oleh Burgstahler
dan Dichev (1997) serta Kim et al.
(2003). Proksi yang digunakan adalah skala laba (avoid earnings losses) dan skala perubahan laba (avoid earnings decreases). Kedua proksi
tersebut di atas dapat dijabarkan dengan rumus sebagai berikut:
![]() |
Panel A Skala laba
Keterangan:
Nit: Net Income pada
tahun pengamatan, dan MVFt-1: Market
value tahun lalu

(NIt – NIt-1)/MVt-2
Keterangan:
NIt -NIt-1: Net Income pada tahun
pengamatan dikurangi Net Income
tahun lalu,
MVFt-2: Market
value dua tahun lalu.
Variabel kontrol, kinerja laba dari tahun lalu dihitung dengan rumus sebagai berikut:
NIt – NIt-1
Keterangan:
NIt: Net Income pada tahun
pengamatan, NIt-1: Net Income tahun sebelumnya.
Nilai yang
dihasilkan akan diidentifikasikan antara yang bernilai positif dan negatif.
Kinerja laba yang akan diberi kode 1 dan kinerja rugi diberi kode 0. Koefisien dari variabel dummy ini diharapkan bernilai positif, untuk membuk- tikan bahwa
perusahaan berpedoman pada laba periode sebelumnya, untuk melaporkan sedikit
kenaikan laba pada tahun berjalan.
Variabel kontrol, pertumbuhan penjualan dihitung dengan
rumus sebagai berikut:
![]() |
Keterangan:
Rt: Revenue pada tahun
pengamatan, Rt-1: Revenue pada tahun lalu.
Variabel kontrol, capital
intencity dihitung berdasarkan
capital intencity ratio (CIR) yaitu jumlah
aktiva tetap di bagi dengan total asset. Variabel kontrol,
status kantor akuntan publik dimaksudkan
untuk mengukur kua- litas audit. Status Kantor Akuntan publik diukur dengan
variabel dummy, nilai 1 untuk
KAP Indonesia yang berafiliasi dengan
KAP Big four (KAP besar) dan
nilai 0 jika KAP Indonesia
yang tidak terafiliasi dengan KAP Big
four (KAP kecil). Variabel kontrol,
proporsi dewan komisaris independen dihitung dengan membagi
jumlah dewan komisaris independen dengan total anggota dewan komisaris.
Bilamana proporsi komisaris independen mayoritas yang berasal dari luar
perusahaan di atas 50% dikategorikan sebagai proporsi
komisaris independen mayoritas dan
proporsi
di bawah 50%
dikategorikan monoritas (Sarkar et al.
2006). Variabel dummy akan digunakan
untuk mengukur variabel komisaris independen, proporsi mayoritas komisaris
independen akan diberi kode 1, dan proporsi minoritas diberi kode 0.
Metoda Analisis Data
Untuk menjawab hipotesis yang diajukan bahwa perusahaan beru- kuran
sedang dan besar diduga lebih agresif dalam melaporkan laba positif untuk
menghindari earnings losses atau earnings decreases, diuji melalui
analisa parametrik multivariate probit
analysis antara variabel ukuran peru- sahaan dengan manajemen laba yang
diproksi ke dalam skala laba dan skala perubahan laba. Hipotesis akan diterima
bilamana probabilitas koefisien regresinya bernilai positif signifikan pada
α<0,05.
Lebih lanjut penelitian ini akan menggunakan binary probit model
dengan persamaan matematis sebagai berikut:
a.
Panel A Skala Laba
Prob(Y1=1) = F(ß(Size,
Earning, Growth, CIR, KAP, KI))
b.
Panel B Skala Perubahan Laba
Prob(Y2=1) = F(ß(Size, Earning, Growth, CIR, KAP, KI))
Keterangan:
Prob
(Y=1): Probabilitas variabel dependen
(perilaku laba)
F: Fungsi F
ß : nilai Koefisien
Size: Ukuran perusahaan
Earnings: Kinerja laba perioda sebelumnya
Growth: Pertumbuhan penjualan CIR: Capital Intencity Ratio
KAP: Status KAP
KI: Proporsi
Komisaris Independen
HASIL
PENELITIAN
Statistik deskriptif berusaha mendeskripsikan
sebaran nilai dari masing-masing variabel dalam penelitian
ini. Statistik deskriptif digambarkan pada
tabel 2.
Tabel 2 Statistik Deskriptif Variabel Penelitian
Variabel
|
n
|
Min
|
Max
|
Mean
|
Std Dev
|
Ukuran Perusahaan
|
380
|
5.280
|
63.559.178
|
2.249.819
|
7.138.170
|
Kinerja Laba
|
380
|
-2.964.002
|
1.207.171
|
-3.885
|
260.277
|
Pertumbuhan
|
380
|
-100%
|
21927%
|
69%
|
1125%
|
CIR
|
380
|
0%
|
139%
|
41%
|
22%
|
KAP
|
380
|
0
|
1
|
0,4
|
0,5
|
Kom.Independen
|
380
|
0%
|
80%
|
40%
|
12%
|
Tabel 3 Distribusi
Frekwensi Variabel Ukuran Perusahaan, Kinerja Laba, Status KAP
Keterangan
|
Jumlah
|
Persentase
|
Ukuran:
Kecil
|
99
|
26%
|
Sedang
|
188
|
49%
|
Besar
|
93
|
25%
|
Kinerja
laba:
|
|
|
Positif
|
196
|
52%
|
Negatif
|
184
|
48%
|
Status KAP:
|
|
|
Afiliasi Big four
|
228
|
60%
|
Non Afiliasi Big four
|
152
|
40%
|
Komisaris
Independen:
|
||
Mayoritas
|
132
|
35%
|
Minoritas
|
248
|
65%
|
Tabel 4
Statistik Deskriptif Skala Laba dan Skala Perubahan Laba
Ukuran
|
n
|
Mean
|
Median
|
Std. Dev
|
Range
|
Min
|
Max
|
Panel A: Skala Laba
|
|||||||
Kecil
|
124
|
-0,117
|
0,041
|
1,270
|
15,000
|
-10,834
|
4,165
|
Sedang
|
176
|
0,060
|
0,043
|
0,548
|
7,450
|
-1,126
|
6,324
|
Besar
|
80
|
0,070
|
0,067
|
0,140
|
1,086
|
-0,325
|
0,761
|
Total
|
380
|
0,900
|
0,500
|
0,821
|
17,159
|
-10,834
|
6,324
|
Panel B: Skala Perubahan Laba
|
|||||||
Kecil
|
124
|
0,076
|
0,005
|
1,402
|
14,338
|
-5,213
|
9,124
|
Sedang
|
176
|
-0,005
|
-0,002
|
0,984
|
16,796
|
-6,317
|
10,479
|
Besar
|
80
|
-0,040
|
0,002
|
0,369
|
3,524
|
-3,119
|
0,405
|
Total
|
380
|
0,014
|
0,012
|
1,500
|
16,796
|
-6,317
|
10,479
|
Hasil uji distribusi frekuensi untuk mendeteksi apakah
ukura e2u sAhaan tertentu memiliki kecenderungan berperilaku selalu melaporkan
laba untuk menghindari eanings losses atau
earnings decreases, adalah sebagai
berikut histogram skala laba pada kelompok perusahaan kecil, sedang dan besar,
terindikasi terjadi discontinue at mean
zero. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa semua ukuran perusahaan
cenderung melaporkan laba untuk menghindari pelaporan kerugian (earnings losses). Kesimpulan terse- but
didukung pula dengan uji t-test, di mana uji t-test pada kelompok peru- sahaan
kecil menunjukkan hasil yang signifikan pada 0,006, sedangkan pada kelompok
perusahaan sedang juga menunjukkan hasil yang signifikan pada 0,000. Hasil uji t-test untuk ukuran perusahaan
besar menunjukkan hasil yang sama, yaitu signifikan pada pada 0,000, sehingga
pada total keseluruhan perusahaan juga memperoleh hasil serupa, yaitu signifikan pada 0,000. Hasil
pengujian tersebut mendukung uji distribusi frekuensi, bahwa pada skala laba terjadi discontinue at mean zero.
Tabel 5 Hasil Uji t-test
Kelompok Ukuran Perusahaan pada Skala Laba
Ukuran
Perusahaan
|
T
|
Sig.
|
Mean Diff.
|
Kecil
|
2,845
|
0,006
|
0,04486
|
Sedang
|
5,627
|
0,000
|
0,05260
|
Besar
|
5,733
|
0,000
|
0,06374
|
Total
|
7,973
|
0,000
|
0,05358
|

Gambar 1 Histogram
Distribusi Frekuensi Skala Laba pada Kelompok Perusahaan Kecil
![]() |
Gambar 2 Histogram Distribusi Frekuensi Skala Laba pada Kelompok
Perusahaan Sedang

Gambar 3 Histogram Distribusi Frekuensi Skala Laba pada Kelompok
Perusahaan Besar
Histogram skala perubahan laba pada kelompok perusahaan kecil, sedang
dan besar, terindikasi tidak terjadi discontinue
at mean zero, sehingga dapat disimpulkan bahwa semua ukuran
perusahaan memiliki kecenderung- an melakukan
manajemen laba, untuk menghindari pelaporan penurunan laba (earnings decreases). Kesimpulan tersebut didukung pula dengan hasil
uji t-test, nilai signifikansi uji t-test pada kelompok perusahaan kecil
sebesar 0,693, pada kelompok perusahaan sedang sebesar 0,072 dan pada kelompok
perusahaan ukuran besar sebesar 0,751. Hal ini berarti bahwa secara statistik
hasil uji tidak signifikan pada α sebesar 0,05. Hasil pengujian tersebut men-
dukung uji distribusi frekuensi bahwa
pada skala perubahan laba tidak terjadi discontinue at mean zero.
Tabel 6 Hasil Uji t-test Kelompok Ukuran Perusahaan pada Skala Perubahan
Laba
Ukuran Perusahaan
|
t
|
Sig.
|
Mean Diff.
|
Kecil
|
0,397
|
0,693
|
0,00621
|
Sedang
|
-1,180
|
0,072
|
-0,01501
|
Besar
|
0,319
|
0,751
|
0,00281
|
Total
|
-0,911
|
0,363
|
-0,00556
|
Histogram
distribusi frekuensi perubahan skala laba berdasar ukuran perusahaan dapat
dilihat pada gambar 4,5 dan 6
![]() |
Gambar 4 Histogram Distribusi
Frekuensi Skala Perubahan Laba pada Kelompok Perusahaan Kecil
![]() |
Gambar 5 Histogram Distribusi Frekuensi Skala Perubahan Laba pada
Kelompok Perusahaan Sedang

Gambar 6 Histogram Distribusi Frekuensi Skala Perubahan Laba pada
Kelompok Perusahaan Besar
Analisa probit dilakukan untuk memperoleh jawaban atas hipotesis yang
diturunkan, bahwa perusahaan sedang dan besar diduga lebih agresif dalam
melaporkan laba positif untuk menghindari earnings
losses atau earnings decreases,
dibandingkan dengan perusahaan kecil. Hasil pengujian analisa probit untuk
skala laba dapat dilihat pada tabel 7 berikut:
Tabel 7 Panel A Hasil
Regresi Probit Analisis Skala Laba Parameter Estimate
Parameter
|
Estimate
|
St. Error
|
Z
|
Sig.
|
Konstanta
|
-2,896
|
0,069
|
-42,245
|
0,000
|
Size
|
0,073
|
0,054
|
1,350
|
0,177
|
Kinerja Laba
|
0,076
|
0,044
|
1,743
|
0,081
|
Pertumbuhan
|
0,000
|
0,000
|
1,076
|
0,282
|
CIR
|
0,002
|
0,001
|
1,753
|
0,080
|
Status KAP
|
0,085
|
0,044
|
1,953
|
0,051
|
Kom. Independen
|
-0,050
|
0,045
|
-1,107
|
0,268
|
Tabel 8 Hasil
Uji Chi-Square
|
Chi-Square
|
d.f.a
|
Sig.
|
Pearson Goodness-of-Fit Test
|
721,005
|
370
|
0,000
|
Pearson Goodness-of-Fit Test
Chi-Square menunjukkan nilai proba- bilitas
yang signifikan pada α<0,05, sehingga
dapat disimpulkan bahwa mo-
del fit. Variabel independen dapat menjadi prediktor atas variabel dependen. Ukuran perusahaan
menghasilkan nilai koefisien
positif sebesar 0,073 dan nilai
Z 1,350 pada tingkat signifikansi 0,177. Artinya bahwa baik perusahaan kecil, sedang, maupun
perusahaan besar terindikasi cenderung melaporkan laba positif untuk
menghindari pelaporan kerugian. Meskipun nilai
koefisien dummy ukuran perusahaan
menunjukkan angka positif, namun secara
statistik, probabilitas hubungan antara
ukuran perusahaan dengan skala laba tidak signifikan pada α>0,05. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa H1 tidak dapat diterima, artinya perusahaan
berukuran sedang dan besar tidak terbukti lebih agresif melakukan manajemen laba untuk menghin- dari pelaporan
kerugian (earnings losses). Hasil penelitian ini tidak konsisten dengan hasil penelitian Kim et al. (2003).
Mereka berpendapat bahwa
perusa- haan besar lebih cenderung melakuakan manajemen laba untuk menghindari earnings losses.
Hasil tersebut di
atas juga sesuai dengan size hyphotesis
yang dikemu- kakan Watt
dan Zimmerman (1986). Secara politis perusahaan sedang dan besar lebih mendapat
perhatian dari berbagai pihak termasuk para analis keuangan dan pemerintah
dibandingkan dengan perusahaan kecil. Pelaporan laba yang mencolok akan
mendapat perhatian dari institusi pemerintahaan, terutama konsekuensi atas
pajak dan biaya sosial lainnya.
Pengaruh kinerja laba periode sebelumnya, bernilai
koefisien positif sebesar 0,076 dengan
nilai Z 1,743 pada tingkat signifikansi 0,081.
Koefisien positif mengindikasikan
bahwa informasi laba positif pada tahun lalu dijadi- kan pedoman dalam
menginformasikan laba pada tahun berjalan, meskipun secara statistik,
probabilitasnya tidak signifikan pada
α>0,05. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kinerja laba periode
sebelumnya tidak signifikan mempengaruhi probabilitas terjadinya manajemen laba
melalui mekanisme pelaporan laba positif, untuk menghindari earnings losses.
Hasil tersebut konsisten dengan dengan hasil penelitian terdahulu yang
diperoleh Kim et al. (2003).
Pengaruh pertumbuhan penjualan, memiliki nilai
koefisien positif sebesar 0,000 dengan
nilai Z 1,706 pada tingkat signifansi 0,282. Nilai koefi- sien positif mengindikasikan bahwa mekanisme pertumbuhan penjualan
dipergunakan oleh perusahaan untuk melakukan manajemen laba melalui
mekanisme pelaporan laba positif, meskipun secara statistik menunjukkan
probabilitas yang tidak signifikan pada α>0,05. Dengan demikian dapat di-
simpulkan bahwa pertumbuhan penjualan tidak signifikan mempengaruhi
probabilitas terjadinya manajemen laba untuk menghindari earnings losses. Hasil tersebut konsisten dengan penelitian yang telah
dilakukan oleh Kim et al. (2003).
Pengaruh capital
intencity, memiliki nilai koefisien positif sebesar 0,002 dengan nilai Z
1,753 pada tingkat signifikansi 0,080. Hasil penelitian ini mengindikasikan bahwa besarnya CIR tidak berpengaruh terhadap praktik manajemen
laba melalui mekanisme pelaporan laba
positif, untuk menghindari earnings losses. Hasil tersebut juga
diperkuat secara statistik bahwa proba- bilitas hubungan CIR dengan manajemen
laba tidak signifikan pada α>0,05. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
CIR tidak berpengaruh terhadap probabilitas terjadinya manajemen laba untuk
menghindari earnings losses. Hasil
penelitian ini konsisten dengan hasil penelitian sebelumnya dari Kim et al. (2003).
Pengaruh status KAP, bernilai koefisien positif
sebesar 0,085 dengan nilai Z 0,051, pada tingkat signifikansi 0,051. Hasil
penelitian ini mengindi- kasikan bahwa status KAP tidak berpotensi menurunkan
praktik manajemen laba. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa status KAP big
4 tidak berpengaruh terhadap probabilitas terjadinya manajemen laba untuk meng-
hindari earnings losses.
Hasil ini tidak konsisten
dengan penelitian Kim et al. (2003) dan Francis et al. (1999), mereka menghasilkan koefisien negatif tidak signifikan. Dalam konteks
penelitian serupa di Indonesia, hasil penelitian ini konsisten dengan
penelitian Siregar dan Utama (2005), bahwa status KAP big four tidak berkorelasi dengan manajemen laba.
Besarnya proporsi komisaris independen, menghasilkan nilai koefi- sien
negatif 0,05 dengan nilai Z -1,107 dan nilai signifikansi 0,268. Nilai
koefisien negatif menunjukkan bahwa tingginya proporsi komisaris inde- penden
dari luar perusahaan, berpotensi menurunkan praktik manajemen laba, meskipun
secara statistik probabilitasnya tidak signifikan pada α>0,05. Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa tingginya proporsi komisaris independen secara
tidak signifikan mempengaruhi probabilitas perusahaan dalam menurunkan praktik
manajemen laba.
Hasil penelitian ini konsisten dengan penelitian sebelumnya untuk
perusahaan-perusahaan di Indonesia (Siregar dan Utama 2005), hasil pene- litian
mereka mengindikasikan bahwa proporsi komisaris independen tidak signifikan
berpengaruh terhadap perilaku pelaporan laba.
Sedangkan
hasil regresi probit analisis skala perubahan laba untuk menguji hipotesis 2
dapat dilihat dalam tabel 9 dan 10 berikut ini:
Tabel 9 Panel A Hasil
Regresi Probit Analisis Skala Perubahan Laba Parameter Estimate
Parameter
|
Estimate
|
St. Error
|
Z
|
Sign
|
Size
|
-0,094
|
0,056
|
-1,677
|
0,094
|
Kinerja Laba
|
1,069
|
0,133
|
8,026
|
0,000
|
Pertumbuhan
|
0,000
|
0,000
|
3,687
|
0,000
|
CIR
|
-0,015
|
0,001
|
-11,214
|
0,000
|
Status KAP
|
-0,029
|
0,052
|
-0,556
|
0,578
|
Kom. Independen
|
0,088
|
0,050
|
1,758
|
0,079
|
Intercept
|
-3,122
|
0,139
|
-22,484
|
0,000
|
Tabel 10
Chi-Square Test
|
Chi-Square
|
d.f.a
|
Sig.
|
Pearson Goodness-of-Fit Test
|
1154,541
|
373
|
0,000
|
Pearson Goodness-of-Fit
Chi-Square Test pada panel B juga menun- jukkan nilai probabilitas sebesar
0,000<0,05, sehingga dapat disimpulkan bahwa model penelitian ini fit.
Variabel independen dapat menjadi prediktor atas variabel dependen. Secara
statistik, efek marginal ukuran perusahaan perusahaan berukuran sedang dan
besar menunjukkan nilai koefisien negatif sebesar
-0,094 dengan nilai Z -1,677 dan
nilai signifikansi 0,094. Hasil
pene- litian ini menunjukkan bahwa ukuran perusahaan tidak berpengaruh praktik
manajemen laba untuk melaporkan positif
earnings. Penelitian ini secara statistik tidak dapat menolak hipotesis nol
yang berarti bahwa perusahaan berukuran sedang dan besar tidak lebih agresif
melakukan manajemen laba melalui mekanisme pelaporan laba positif, untuk
menghindari pelaporan pe- nurunan laba
(earnings decreases) dibandingkan
dengan perusahaan kecil. Hasil penelitian ini
konsisten dengan penelitian
Burgstahler and Dichev (1997),
meskipun tidak konsisten dengan hasil penelitian Kim et al. (2003).
Pengaruh kinerja laba periode sebelumnya, bernilai koefisien positif
pada 1,069 dengan nilai Z 8,026 dan nilai signifikansi 0,000. Koefisien posi-
tif mengindikasikan bahwa informasi laba positif pada tahun lalu, dijadikan
pedoman oleh perusahaan dalam menginformasikan laba pada tahun berja-
lan. Secara
statistik, pengaruh kinerja laba terhadap manajemen laba untuk menghindari earnings decreases, sangat signifikan
pada α<0,05. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kinerja laba periode
sebelumnya sangat signifikan berpengaruh terhadap probabilitas terjadinya
manajemen laba un- tuk menghindari earnings
decreases. Hasil tersebut konsisten dengan hasil yang diperoleh Kim et al. (2003).
Pengaruh pertumbuhan penjualan, memiliki nilai koefisien positif pada
0,000 dengan nilai Z 3,687 dan nilai signifikansi 0,000. Nilai koefisien positif mengindikasikan bahwa mekanisme
pertumbuhan penjualan, diperguna- kan oleh perusahaan dalam melakukan
manajemen laba melalui mekanisme pelaporan laba positif, untuk menghindari earnings decreases. Secara sta- tistik
pengaruh pertumbuhan penjualan terhadap manajemen laba, sangat signifikan pada
α<0,05. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa per- tumbuhan penjualan sangat signifikan berpengaruh terhadap probabilitas terjadinya manajemen laba, untuk
menghindari earnings decreases. Hasil
tersebut konsisten dengan penelitian sebelumnya oleh Kim et al. (2003).
Pengaruh capital intencity,
memiliki nilai koefisien negatif sebesar - 0,015 dengan nilai Z -11,214 dan
nilai signifikansi 0,000. Hasil penelitian
ini menunjukan bahwa semakin besar CIR akan berkorelasi positif terhadap
penurunan probabilitas terjadinya manajemen laba untuk menghindari earnings decreases. Hasil tersebut
tidak konsisten dengan penelitian
sebelum- nya yang dihasilkan oleh Kim et
al. (2003).
Pengaruh status KAP,
bernilai koefisien negatif sebesar -0,029 dengan nilai Z -0,556), dan nilai
signifikansi 0,578. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa status KAP (berafiliasi dengan KAP Big four atau tidak berafiliasi de-ngan KAP
Big four) tidak berpengaruh terhadap
praktik manajemen laba untuk menghindari earnings
decreases. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa status KAP big four tidak
signifikan berpengaruh terhadap probabilitas perilaku laba positif untuk
menghindari earnings losses. Hasil
ini konsisten dengan penelitian Kim et al.
(2003) dan konsisten pula dengan hasil peneli-tian di Indonesia oleh Siregar
dan Utama (2005).
Hasil statistik pada variabel besarnya proporsi komisaris independen,
memiliki nilai koefisien positif pada 0,088 dengan
nilai Z 1,758 dan nilai signifikansi 0,079. Hasil tersebut menunjukkan bahwa
tingginya proporsi dewan komisaris
yang berasal dari luar perusahaan, tidak mempengaruhi probabilitas terjadinya
manajemen laba, untuk bisa menghindari earnings
decreases. Hasil penelitian ini konsisten
dengan penelitian sebelumnya untuk
perusahaan-perusahaan di Indonesia (Siregar
dan Utama 2005), hasil penelitian mereka
mengindikasikan bahwa proporsi komisaris independen tidak berkorelasi dengan
perilaku pelaporan laba.
PENUTUP
Berdasarkan
analisis data dan pembahasan yang telah
dilakukan maka dapat diambil
simpulan sebagai berikut pertama, hipotesis yang diajukan baik H1 maupun H2, tidak dapat diterima. Artinya perusahaan
sedang dan besar, tidak terbukti lebih agresif dalam melakukan manajemen laba
melalui mekanisme pelaporan laba positif, baik untuk menghindari earnings losses maupun earnings
decreases. Seperti halnya Size Hypothesis,
bahwa semakin besar perusahaan akan cenderung untuk
menurunkan praktik manajemen laba, karena perusahaan
besar secara politis lebih mendapat perhatian dari institusi pemerintahan
dibandingkan dengan perusahaan kecil.
Kedua, variabel kontrol pertumbuhan penjualan, kinerja laba periode
sebelumnya, capital intencity ratio,
status KAP dan Komisaris Independen, tidak terbukti berpengaruh terhadap
probabilitas terjadinya manajemen laba untuk menghindari earnings losess. Terakhir, pertumbuhan penjualan, ki- nerja laba
periode sebelumnya, capital intencity
ratio berpengaruh sangat signifikan terhadap perilaku pelaporan laba
positif untuk bisa menghindari earnings
decreases. Status KAP dan Komisaris Independen tidak berpenga- ruh pada
perilaku tersebut.
Keterbatasan dalam penelitian ini adalah (1) penelitian ini tidak
mela- kukan deteksi terhadap tingkat keagresifan perilaku manajemen laba
antara perusahaan kecil, sedang
dan besar, sehingga belum dapat melihat
pada kelompok perusahaan berukuran apakah yang memiliki tingkat
keagresifan yang lebih tinggi dalam melakukan manajemen laba, melalui mekanisme pelaporan laba positif; (2)
Variabel-variabel yang disajikan di dalam peneli- tian ini, hanya berkaitan
dengan sebagian kecil akun-akun yang ada dalam struktur laporan keuangan,
diantaranya net income (kinerja
laba), Capital Intensity Ratio (CIR),
sales Growth (pertumbuhanpenjualan),
dan market value (ukuran perusahaan); (3) Lingkup penelitian ini hanya pada
industri manufaktur, sehingga hasil penelitian ini belum bisa dipergunakan
sebagai pedoman bagi industri-industri lainnya.
Berdasarkan keterbatasan-keterbatasan tersebut, maka peneliti yang
akan datang disarankan untuk (1) melakukan pengamatan lebih mendalam untuk
mengidentifikasi tingkat keagresifan pada masing-masing kelompok ukuran
perusahaan dalam melakukan manajemen laba; (2) Mengidentifikasi akun-akun lain
sebagai variabel tambahan, yang digunakan perusahaan da- lam melakukan pengelolaan laba, sehingga hasilnya dapat
melibatkan semua akun-akun penting yang berhubungan dengan pelaporan laba; (3)
Memper- luas lingkup pengamatan terhadap industri-industri lainnya seperti
perbankan, asuransi, dan jasa
lainnya, dengan membuat perbandingan perilaku pelaporan